- Peran
Pemerintah Terhadap Perbankan Syari’ah
Peran pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia berperan sangat strategis
dalam pengembangan bank, termasuk perbankan syari’ah. Dalam pasal 29 ayat (1)
disebutkan : “Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia”, bukan hanya sebagai Pembina dan
pengawas saja peran bank Indonesia
tapi juga sebagai pemeriksa terhadap bank, termasuk bank syari’ah. Dalam pasal
31 ayat (1) dijelaskna bahwa “ Bank Indonesia melakukan pemeriksaan
terhadap Bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan”.
Bank Indonesia
telah menetapkan visi dan misi perbankan syari’ah dan mencanangkan strategi
untuk mencapai sasaran pengembangan secara obyektif paradigm kebijakan yang
dapat diterapkan secara konsisten, yaitu
(a) market driven, pertumbuhan berdasarkan kebutuhan pasar,
(b) fair treatment, membangun persaingan industry yang sehat berdasarkan
karakteristik perbankan syari’ah dan bukan memberikan perlakuan khusus
berdasarkan argument infan industry,
(c) Gradual and sustainable approach, prioritas dan focus pengembangan
berdasarkan situasi dan kondisi serta dilakukan secara bertahap dan
berkesinambungan,
(d) comply to sharia principle, pengaturan industry dan pengembangan
infrastruktur yang sesuai dengan prinsip syari’ah.
Pelaksanaan pengembangan secara obyektif paradigm kebijakan dimaksud,
pada dasarnya dibagi ke dalam 4 (empat) fokus area pengembangan yang
berdasarkan kerangka waktu dalam tiga tahapan periode pencapaian. Empat focus
utama dimaksud, mencakup kepatuhan pada prinsip syari’ah, prinsip kehati-hatian
dalam beroperasi, efesiensi operasional dan daya saing serta kestabilan system
perbankan. Tujuan dari proses pentahapan dimaksud, agar perkembangan system
perbankan syari’ah dapat dilakukan dengan mantap berkesinambungan dan sesuai
dengan permintaan riil.
2. Peran Masyarakat Terhadap Pengembangan Perbankan Syari’ah
Pentingnya peran masyarakat dalam perekonomian adalah sama dengan sector
lainnya, yaitu pasar dan pemerintah.beberapa dasar pemikiran peranan masyarakat
ini, yaitu sebagai berikut :
a. Konsekuensi fardhu kifayah
Fardhu kifayah merupakan suatu kewajiban yang diajukan kepada masyarakat
di mana jika kewajiban itu dilanggar, maka seluruh masyarakat akan menanggung
dosa, sementara jika telah dilaksanakan (bahkan hanya oleh satu orang), maka
seluruh masyarakat akan terbebas dari kewajiban tersebut. Meskipun pemerintah
terkadang dapat berperan lebih efektif dibandingkan masyarakat secara langsung,
tetapi masyarakat tidak dapat terlepas dari tanggung jawab ini. Pada dasarnya
konsep fardhu kifayah adalah mengacu pada tanggung jawab masyarakat. Jika
pemerintah benar-benar mampu melaksanakan tugas fardhu kifayah ini, maka
masyarakat dapat terbebas dari tanggung jawab.
b. Adanya hak milik publik
Peranan masyarakat juga muncul karena adanya konsep hak milik public
dalam ekonomi Islam, seperti waqf, kekayaan waqaf adalah kekayaan masyarakat
secara keseluruhan dan berlaku sepanjang masa, karenanya waqaf merupakan hak
milik masyarakat yang tidak tergantung kepada pemerintah yang berkuasa.
Pemerintah dapat berganti dari waktu ke waktu, sementara masyarakat terikat
dalam kewajiban social jangka panjang. Oleh karena itu berbagai kekayaan waqf
akan tetap dikelola oleh masyarakat sendiri.
c. Kegagalan pasar
Kegagalan pasar tidak cukup hanya diselesaikan dengan peran pemerintah,
sebab pemerintah juga memiliki kegagalan. Pasar bekerja dengan mekanisme
permintaan dan penawaran di mana mensyaratkan suatu komoditas yang dapat
diperdagangkan (tradeable). Komoditas seperti ini harus memiliki suatu harga
(priceable), sedangkan untuk memiliki harga komoditasseperti ini otomatis harus
bisa diukur (measurable). Dalam kenyataan terdapat banyak kebutuhan masyarakat
yang unmeasurable, karenanya juga unpriceable dan untreadible, sehingga tidak
dapat disediakan oleh pasar. Komoditas seperti dapat disediakan secara efektif
dan efisien oleh masyarakat .
d. Kegagalan pemerintah
Meskipun peran pemerintah sangat berguna termsuk dalam menjalankan
fardhu kifayah, tetapi terdapat beberapa kelemaha-kelemahan. Hal ini
selanjutnya dapat menganggu efisiensi peranan pemerintah sehingga diperluka
peran masyarakat secara langsung. Beberapa kelemahan tersebut antara lain :
1). Pemerintah sering kalitidak berhasil mengidentifikasi dengan tepat
kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya, sehingga formulasi kebijakannya juga
tidak tepat.
2). Pemerintah sering kali juga memiliki banyak masalah structural yang dapat
menghambatefektifitas dan efisiensi kebijakan, misalnya masalah birokrasi dan
politik.
3). Keterlibatan pemerintah sering kali menimbulkan pengaturan yang berlebihan
terhadap aktifitas perekonomian, sehingga justru menghambat mekanisme pasar dan
peran masyarakat secara langsung.
Peranan masyarakat dalam perekonomian memiliki lingkup yang luas.
Praktek pada masyarakat muslim era masa klasik dapat menjadi acuan yang baik
bagi peran masyarakat modern saat ini. Peranan masyarakat dalam perekonomian
mencakup hal-hal berikut :
a. Menjaga kebutuhan ekonomi keluarga
Keluarga memiliki peranan yang amat penting dalam upaya mewujudkan
kesejahteraan masyarakat, di luar system ekonomi pertukaran dalam pasar maupun
pemerintah. Sebagai institusi terkecil dalam masyarakat, keluarga telah
memberikan kontribusi yang bernilai ekonomis sangat tinggi terhadap
perekonomian. Kontribusi ini dalam bentuk penyediaan barang atau jasa yang jika
disediakan oleh pasar atau pemerintah adalah mustahil atau kemungkinan akan
berbiaya sangat mahal. Banyak kontribusi keluarga ini, misalnya kasih saying
dan kenyamanan. Ajaran Islam mewajibkan kepala keluarga untuk bertanggung jawab
atas nafkah seluruh keluarga serta mengatur hak dan kewajiban seluruh anggota
keluarga, sehingga tercipta keluarga yang harmonis (sakinah mawaddah wa
rahmah). Kleuarga juga memiliki kewajiban untuk turut menjaga kesejahteraan
family dan tetangga di lingkungannya.
b. Mengelola ZIS
Zakat, infaq dan shadaqah (ZIS) memiliki peranan penting dalam
penyediaan barang dan jasa baik barang public maupun barang privat. Adanya ZIS
telah menyediakan dana yang murah bagi pembiayaan berbagai kegiatan ekonomi
dalam masyarakat. Islam telah mengatur kewajiban zakat dan sasaran
pemanfaatannyasecara pasti, karena zakat memiliki damapk ekonomi yang lebih
pasti pula. Sementara itu tidak terdapat pengaturan yang detail tentang infaq
dan shadaqah, sehingga lebih fleksibel dalam pengelolaannya. Dalam realitas,
banyak kegiatan dan fasilitas ekonomi yang disediakan dengan menggunakan
pembiayaan dari infaq dan shadaqah ini. Penyediaan fasilitas public,
pengentasan kemiskinan, dan pemberdayaan masyarakat banyak dibiayai dari dana
ini.
c. Menyediakan pelayanan social
Penyediaan layanan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seperti
pendidikan umum dan keagamaan, advokasi dan perlindungan lingkungan hidup,
pelayanan kesehatan, peningkatan keahlian dan ketrampilan, dan berbagai bentuk
pelayanan jasa lainnya, banyak dilakukan oleh masyarakat sendiri.
d. Pengelolaan waqaf
Waqaf merupakan salah satu sumber daya ekonomi yang telah terbukti
berperan besar dalam perekonomian. Waqf adalah salah satu bentuk kekayaan yang
secara hukum diberikan kepada public, meskipun pengelolaannya kemungkinan dapat
dilakukan oleh pemerintah atau masyarakat sendiri. Dalam realitas sejak masa
Islam klasik hingga saat ini kekayaan waqf telah banyak digunakan untuk
penyediaan sekolah, pelayanan kesehatan, pelayanan keagamaan serta pemberdayaan
ekonomi, tak terkecuali ekonomi Islam.
Dalam hal ini peran sosiologi hokum untuk memahami bekerjanya hukum dalam
masyarakat juga sangat penting. Untuk memahami bekerjanya hukum, dapat dilihat
fungsi hokum itu dalam masyarakat. Funsi hokum dimaksud dapat diamati dari
bebagai sudut pandang, yaitu :
1). Fungsi hokum sebagai social control di dalam masyarakat,
2). fungsi hokum sebagai alat untuk mengubah masyarakat,
3). Fungsi hokum sebagai simbul pengetahuan,
4). fungsi hokum sebagai
instrument politik,
5). fungsi hokum sebagai alat integrasi.
3. Beberapa Solusi Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syari’ah Bagi Masyarakat Pencari Keadilan.
Lahirnya
Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun
1989 Tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan besar dalam eksistensi
lembaga Peradilan Agama saat ini. Salah satu perubahan yang mendasar adalah
penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama (PA) dalam bidang ekonomi syariah.
Berdasarkan pasal 49 huruf (!) UU No 3 Tahun 2006 ditegaskan bahwa, PA memiliki
kewenangan dalam memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara termasuk
“ekonomi syariah”.
Dengan adanya kewenangan dalam memutuskan perkara syariah, maka peran
dari PA akan bertambah luas.Karena ekonomi syariah berhubungan dengan disiplin
ilmu ekonomi, sehingga para hakim di PA harus menguasai tentang ilmu ekonomi
syariah disamping ilmu hukum formil yang dimiliki selama ini. Hal tersebut
sangat rasional sebab ketika diimplementasikan UU tersebut dalam lingkungan PA
masih ada para Hakim yang belum memahami dan mengetahui hukum ekonomi syariah.
Selain itu implikasinya adalah dalam klausal akad-akad pembiayaan bank syariah
harus dilakukan ratifikasi. Sehingga Bank Syariah tidak lagi menyebutkan
Pengadilan Negeri (PN) sebagai tempat penselesaian perkara sengketa dalam
bisnis syariah.Dalam hal ini Bank Syariah agar mengubah klausal akad-akad
pembiayaan yang dilakukan oleh bank syariah selama ini.Sehingga mengenai
ketentuan perkara dalam ekonomi syariah bisa diselesaikan melalui PA bukan PN
sebagai eksekusinya.
Tetapi dengan adanya UU tersebut menjadikan polemik tentang keberadaan
Basyarnas (Badan Abritase Syariah Nasional) yang selama ini bertugas dalam
menyelesaikan perkara-perkara tentang ekonomi syaraiah. Apakah lembaga tersebut
tetap eksis atau dibubarkan. Fenomena Abritase dengan keberadaan UU tersebut
hingga kini masih dalam perdebatan yang sangat panjang.Bagi mereka yang sepakat
tetap eksisnya Basyarnas mengusulkan sebuah mekanisme yang harus dibicarakan
secara langsung kepada MUI (Majelis Ulama Indonesia) sebagai lembaga yang
mendirikan Basyarnas. Dalam hal ini dapat dicontohkan seperti di negara
Singapura yang masih dipertahankan meskipun dalam regulasi hukum telah ada peran
PA di Singapura. Tetapi apakah hal itu bisa dalam implementasi UU No 3. Dalam
kerangka itulah tulisan ini mencoba mendiskusikan siapakah yang paling
berkompeten atas sengketa ekonomi syari’ah antara Pengadilan Agama atau Badan
Arbitrase Syari’ah?
Kemudian dikemukakan pula, pasca amandemen UU No. 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama menjadi UU No. 3 Tahun 2006, dapat dimaknai sebagi politik
hukum ekonomi syari’ah dengan cara memperluas kewenangan Pengadilan Agama.
Dalam hal ini Peradilan Agama memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa
ekonomi syari’ah secara litigasi atau melalui peradilan formal. Amandemen tidak
hanya memperluas kewenangan, tetapi juga memberikan ruang lingkup yang jelas
tentang sengketa ekonomi tidak hanya sebatas masalah perbankan saja, tetapi
meliputi pula lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi
syari’ah, reksa dana syari’ah, obligasi syari’ah, dan surat berharga berjangka
menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah,
dana pensiuan lembaga keuangan syari’ah, dan bisnis syari’ah. Hal ini
menunjukkan kepada kita bagaimana peran dari suatu lembaga peradilan untuk
mewujudkan pelaksanaan ekonomi syari’ah yang nanti dalam puncaknya melaui
peranan Mahkamah Agung dengan ditetapkannya Peraturan Mahkamah Agung No. 2
Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa cerminan politik hukum ekonomi syari’ah
dalam perspektif hukum yang dicita-citakan dapat dilihat melalui adanya
penyiapan hukum materiil berupa Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah dan proses
legislasi UU tentang perbankan syari’ah. Selain itu eksistensi ekonomi syari’ah
menjadi semakin kuat dengan dilihat mulai dari gagasan sampai menuju tatanan
system hukum nasional.Hal ini dibuktikan dengan disyahkannya Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari’ah dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2008 dan
diundangkannya UU No. 21 Tahun 2008 Tentang perbankan Syari’ah pada tanggal 16
Juli 2008.
Hal menarik untuk mendapat perhatian masyarakat pencari keadilan berkaitan
dari persoalan ekonomi syari’ah yang dicantumkan dalam Undang-undang No. 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah adalah berkenaan dengan penyelesaian
sengketa perbankan syari’ah. Pasal 55 UU No. 21 Tahun 2008 menyatakan :
(1)
Penyelesaian sengketa perbankan syari’ah
dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.
(2)
Dalam hal para pihak telah memperjanjikan
penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian
sengketa dilakukan sesuai dengan akad.
(3)
Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syari’ah.
Ketentuan pasal 55 ayat (1) tersebut di atas adalah sejalan dengan pasal
49 huruf I UU No. 3 Tahun 2006 yang menyebutkan kewenangan Pengadilan Agama
adalah menyelesaikan sengketa ekonomi termasuk perbankan syari’ah. Adanya
ketentuan ayat (2) adalah merupakan penyimpangan dari prinsip tersebut.
Penjelasan pasal 55 ayat (2) menyatakan : yang dimaksud dengan “penyelesaian
sengketa dilakukan sesuai isi akad” adanya upaya sebagai berikut :
a.Musyawarah;
b.Mediasi perbankan;
c.Melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (Basyarnas) atau lembaga
arbitrase lain; dan/atau
d.Melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan
umum.
Penyelesaian dengan cara musyawarah dan mediasi
perbankan adalah suatu hal yang wajar dalam penyelesaian sengketa perbankan. Penyelesaian
sengketa melalui Basyarnas adalah sesuai dengan fatwa Dewan Syari’ah Nasional
(DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang selalu menyebut sebagai penyelesaian
sesuai dengan syari’ah dari berbagai sengketa berbagai kasus ekonomi syari’ah.
Dibukanya penyelesaian melalui lembaga arbitrase lain membuka peluang
penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah melalui lembaga non syari’ah, walaupun
dalam ayat (3) uu No. 21 Tahun 2008 yang menyatakan penyelesaian tersebut tidak
boleh bertentnagn dengan prinsip syari’ah.
Penyelesaian sengketa perbankan syari’ah melauipengadilan dalam
lingkungan peradilan umum yaitu penyelesaian sengketa melalui pengadilan negeri
membuka dualism system peradilan dalam penyelesaian persoalan yang berada dalam
ranah syari’ah ke dalam lingkup non syari’ah yang masih perlu dipersoalkan
ketepatannya, mengingat persoalan perbankan syari’ah sangat erat hubungannya
dengan prinsip-prinsip syari’ah yang sudah dikaji dan dipahami oleh para hakim
dilingkungan peradilan agama. Hal ini merupakan gambaran tidak jelasnya politik
hukm nasional berkenaan dengan perbankan seyari’ah atau belum digariskannya
suatu politik hukum ekonomi syari’ah di Indonesia.
Dari beberapa paparan di atas, maka masyrakat dalam hal ini sebagai pencari
keadilan semakin dibuat bingung, ke mana mereka harus menyelesaikan masalah
hukumnya ketika terjadi sengketa ekonomi syari’ah, apakah di Pengadilan Agama,
Arbitrase atau arbitrase syari’ah, atau Pengadilan Negeri. Bagaimana pula
menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah yang klausulanya dibuat sebelum
dikeluarkannya UU No.3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Dari sisi sosiologi
masyarakat sedikit banya dirugikan akibat Undang-undang yang tidak tegas yang
kemungkinan masih menimbulkan multi tafsir.
Reference:http://s2hukum.blogspot.com/2009/12/efektifitas-penyelesaian-sengketa.html