Minggu, 29 Mei 2011

Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah

  1. Peran Pemerintah Terhadap Perbankan Syari’ah
Peran pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia berperan sangat strategis dalam pengembangan bank, termasuk perbankan syari’ah. Dalam pasal 29 ayat (1) disebutkan : “Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia”, bukan hanya sebagai Pembina dan pengawas saja peran bank Indonesia tapi juga sebagai pemeriksa terhadap bank, termasuk bank syari’ah. Dalam pasal 31 ayat (1) dijelaskna bahwa “ Bank Indonesia melakukan pemeriksaan terhadap Bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan”.
Bank Indonesia telah menetapkan visi dan misi perbankan syari’ah dan mencanangkan strategi untuk mencapai sasaran pengembangan secara obyektif paradigm kebijakan yang dapat diterapkan secara konsisten, yaitu
(a) market driven, pertumbuhan berdasarkan kebutuhan pasar,
(b) fair treatment, membangun persaingan industry yang sehat berdasarkan karakteristik perbankan syari’ah dan bukan memberikan perlakuan khusus berdasarkan argument infan industry,
(c) Gradual and sustainable approach, prioritas dan focus pengembangan berdasarkan situasi dan kondisi serta dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan,
(d) comply to sharia principle, pengaturan industry dan pengembangan infrastruktur yang sesuai dengan prinsip syari’ah.
Pelaksanaan pengembangan secara obyektif paradigm kebijakan dimaksud, pada dasarnya dibagi ke dalam 4 (empat) fokus area pengembangan yang berdasarkan kerangka waktu dalam tiga tahapan periode pencapaian. Empat focus utama dimaksud, mencakup kepatuhan pada prinsip syari’ah, prinsip kehati-hatian dalam beroperasi, efesiensi operasional dan daya saing serta kestabilan system perbankan. Tujuan dari proses pentahapan dimaksud, agar perkembangan system perbankan syari’ah dapat dilakukan dengan mantap berkesinambungan dan sesuai dengan permintaan riil.

2. Peran Masyarakat Terhadap Pengembangan Perbankan Syari’ah
Pentingnya peran masyarakat dalam perekonomian adalah sama dengan sector lainnya, yaitu pasar dan pemerintah.beberapa dasar pemikiran peranan masyarakat ini, yaitu sebagai berikut :
a. Konsekuensi fardhu kifayah
Fardhu kifayah merupakan suatu kewajiban yang diajukan kepada masyarakat di mana jika kewajiban itu dilanggar, maka seluruh masyarakat akan menanggung dosa, sementara jika telah dilaksanakan (bahkan hanya oleh satu orang), maka seluruh masyarakat akan terbebas dari kewajiban tersebut. Meskipun pemerintah terkadang dapat berperan lebih efektif dibandingkan masyarakat secara langsung, tetapi masyarakat tidak dapat terlepas dari tanggung jawab ini. Pada dasarnya konsep fardhu kifayah adalah mengacu pada tanggung jawab masyarakat. Jika pemerintah benar-benar mampu melaksanakan tugas fardhu kifayah ini, maka masyarakat dapat terbebas dari tanggung jawab.
b. Adanya hak milik publik
Peranan masyarakat juga muncul karena adanya konsep hak milik public dalam ekonomi Islam, seperti waqf, kekayaan waqaf adalah kekayaan masyarakat secara keseluruhan dan berlaku sepanjang masa, karenanya waqaf merupakan hak milik masyarakat yang tidak tergantung kepada pemerintah yang berkuasa. Pemerintah dapat berganti dari waktu ke waktu, sementara masyarakat terikat dalam kewajiban social jangka panjang. Oleh karena itu berbagai kekayaan waqf akan tetap dikelola oleh masyarakat sendiri.
c. Kegagalan pasar
Kegagalan pasar tidak cukup hanya diselesaikan dengan peran pemerintah, sebab pemerintah juga memiliki kegagalan. Pasar bekerja dengan mekanisme permintaan dan penawaran di mana mensyaratkan suatu komoditas yang dapat diperdagangkan (tradeable). Komoditas seperti ini harus memiliki suatu harga (priceable), sedangkan untuk memiliki harga komoditasseperti ini otomatis harus bisa diukur (measurable). Dalam kenyataan terdapat banyak kebutuhan masyarakat yang unmeasurable, karenanya juga unpriceable dan untreadible, sehingga tidak dapat disediakan oleh pasar. Komoditas seperti dapat disediakan secara efektif dan efisien oleh masyarakat .
d. Kegagalan pemerintah
Meskipun peran pemerintah sangat berguna termsuk dalam menjalankan fardhu kifayah, tetapi terdapat beberapa kelemaha-kelemahan. Hal ini selanjutnya dapat menganggu efisiensi peranan pemerintah sehingga diperluka peran masyarakat secara langsung. Beberapa kelemahan tersebut antara lain :
1). Pemerintah sering kalitidak berhasil mengidentifikasi dengan tepat kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya, sehingga formulasi kebijakannya juga tidak tepat.
2). Pemerintah sering kali juga memiliki banyak masalah structural yang dapat menghambatefektifitas dan efisiensi kebijakan, misalnya masalah birokrasi dan politik.
3). Keterlibatan pemerintah sering kali menimbulkan pengaturan yang berlebihan terhadap aktifitas perekonomian, sehingga justru menghambat mekanisme pasar dan peran masyarakat secara langsung.
Peranan masyarakat dalam perekonomian memiliki lingkup yang luas. Praktek pada masyarakat muslim era masa klasik dapat menjadi acuan yang baik bagi peran masyarakat modern saat ini. Peranan masyarakat dalam perekonomian mencakup hal-hal berikut :
a. Menjaga kebutuhan ekonomi keluarga
Keluarga memiliki peranan yang amat penting dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat, di luar system ekonomi pertukaran dalam pasar maupun pemerintah. Sebagai institusi terkecil dalam masyarakat, keluarga telah memberikan kontribusi yang bernilai ekonomis sangat tinggi terhadap perekonomian. Kontribusi ini dalam bentuk penyediaan barang atau jasa yang jika disediakan oleh pasar atau pemerintah adalah mustahil atau kemungkinan akan berbiaya sangat mahal. Banyak kontribusi keluarga ini, misalnya kasih saying dan kenyamanan. Ajaran Islam mewajibkan kepala keluarga untuk bertanggung jawab atas nafkah seluruh keluarga serta mengatur hak dan kewajiban seluruh anggota keluarga, sehingga tercipta keluarga yang harmonis (sakinah mawaddah wa rahmah). Kleuarga juga memiliki kewajiban untuk turut menjaga kesejahteraan family dan tetangga di lingkungannya.
b. Mengelola ZIS
Zakat, infaq dan shadaqah (ZIS) memiliki peranan penting dalam penyediaan barang dan jasa baik barang public maupun barang privat. Adanya ZIS telah menyediakan dana yang murah bagi pembiayaan berbagai kegiatan ekonomi dalam masyarakat. Islam telah mengatur kewajiban zakat dan sasaran pemanfaatannyasecara pasti, karena zakat memiliki damapk ekonomi yang lebih pasti pula. Sementara itu tidak terdapat pengaturan yang detail tentang infaq dan shadaqah, sehingga lebih fleksibel dalam pengelolaannya. Dalam realitas, banyak kegiatan dan fasilitas ekonomi yang disediakan dengan menggunakan pembiayaan dari infaq dan shadaqah ini. Penyediaan fasilitas public, pengentasan kemiskinan, dan pemberdayaan masyarakat banyak dibiayai dari dana ini.
c. Menyediakan pelayanan social
Penyediaan layanan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seperti pendidikan umum dan keagamaan, advokasi dan perlindungan lingkungan hidup, pelayanan kesehatan, peningkatan keahlian dan ketrampilan, dan berbagai bentuk pelayanan jasa lainnya, banyak dilakukan oleh masyarakat sendiri.
d. Pengelolaan waqaf
Waqaf merupakan salah satu sumber daya ekonomi yang telah terbukti berperan besar dalam perekonomian. Waqf adalah salah satu bentuk kekayaan yang secara hukum diberikan kepada public, meskipun pengelolaannya kemungkinan dapat dilakukan oleh pemerintah atau masyarakat sendiri. Dalam realitas sejak masa Islam klasik hingga saat ini kekayaan waqf telah banyak digunakan untuk penyediaan sekolah, pelayanan kesehatan, pelayanan keagamaan serta pemberdayaan ekonomi, tak terkecuali ekonomi Islam.
Dalam hal ini peran sosiologi hokum untuk memahami bekerjanya hukum dalam masyarakat juga sangat penting. Untuk memahami bekerjanya hukum, dapat dilihat fungsi hokum itu dalam masyarakat. Funsi hokum dimaksud dapat diamati dari bebagai sudut pandang, yaitu :
1). Fungsi hokum sebagai social control di dalam masyarakat,
2). fungsi hokum sebagai alat untuk mengubah masyarakat,
3). Fungsi hokum sebagai simbul pengetahuan,
4). fungsi hokum  sebagai instrument politik,
5). fungsi hokum sebagai alat integrasi.
3. Beberapa Solusi Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Bagi Masyarakat Pencari Keadilan.
Lahirnya Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini. Salah satu perubahan yang mendasar adalah penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama (PA) dalam bidang ekonomi syariah. Berdasarkan pasal 49 huruf (!) UU No 3 Tahun 2006 ditegaskan bahwa, PA memiliki kewenangan dalam memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara termasuk “ekonomi syariah”.
Dengan adanya kewenangan dalam memutuskan perkara syariah, maka peran dari PA akan bertambah luas.Karena ekonomi syariah berhubungan dengan disiplin ilmu ekonomi, sehingga para hakim di PA harus menguasai tentang ilmu ekonomi syariah disamping ilmu hukum formil yang dimiliki selama ini. Hal tersebut sangat rasional sebab ketika diimplementasikan UU tersebut dalam lingkungan PA masih ada para Hakim yang belum memahami dan mengetahui hukum ekonomi syariah. Selain itu implikasinya adalah dalam klausal akad-akad pembiayaan bank syariah harus dilakukan ratifikasi. Sehingga Bank Syariah tidak lagi menyebutkan Pengadilan Negeri (PN) sebagai tempat penselesaian perkara sengketa dalam bisnis syariah.Dalam hal ini Bank Syariah agar mengubah klausal akad-akad pembiayaan yang dilakukan oleh bank syariah selama ini.Sehingga mengenai ketentuan perkara dalam ekonomi syariah bisa diselesaikan melalui PA bukan PN sebagai eksekusinya.
Tetapi dengan adanya UU tersebut menjadikan polemik tentang keberadaan Basyarnas (Badan Abritase Syariah Nasional) yang selama ini bertugas dalam menyelesaikan perkara-perkara tentang ekonomi syaraiah. Apakah lembaga tersebut tetap eksis atau dibubarkan. Fenomena Abritase dengan keberadaan UU tersebut hingga kini masih dalam perdebatan yang sangat panjang.Bagi mereka yang sepakat tetap eksisnya Basyarnas mengusulkan sebuah mekanisme yang harus dibicarakan secara langsung kepada MUI (Majelis Ulama Indonesia) sebagai lembaga yang mendirikan Basyarnas. Dalam hal ini dapat dicontohkan seperti di negara Singapura yang masih dipertahankan meskipun dalam regulasi hukum telah ada peran PA di Singapura. Tetapi apakah hal itu bisa dalam implementasi UU No 3. Dalam kerangka itulah tulisan ini mencoba mendiskusikan siapakah yang paling berkompeten atas sengketa ekonomi syari’ah antara Pengadilan Agama atau Badan Arbitrase Syari’ah?
Kemudian dikemukakan pula, pasca amandemen UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menjadi UU No. 3 Tahun 2006, dapat dimaknai sebagi politik hukum ekonomi syari’ah dengan cara memperluas kewenangan Pengadilan Agama. Dalam hal ini Peradilan Agama memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah secara litigasi atau melalui peradilan formal. Amandemen tidak hanya memperluas kewenangan, tetapi juga memberikan ruang lingkup yang jelas tentang sengketa ekonomi tidak hanya sebatas masalah perbankan saja, tetapi meliputi pula lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksa dana syari’ah, obligasi syari’ah, dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah, dana pensiuan lembaga keuangan syari’ah, dan bisnis syari’ah. Hal ini menunjukkan kepada kita bagaimana peran dari suatu lembaga peradilan untuk mewujudkan pelaksanaan ekonomi syari’ah yang nanti dalam puncaknya melaui peranan Mahkamah Agung dengan ditetapkannya Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa cerminan politik hukum ekonomi syari’ah dalam perspektif hukum yang dicita-citakan dapat dilihat melalui adanya penyiapan hukum materiil berupa Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah dan proses legislasi UU tentang perbankan syari’ah. Selain itu eksistensi ekonomi syari’ah menjadi semakin kuat dengan dilihat mulai dari gagasan sampai menuju tatanan system hukum nasional.Hal ini dibuktikan dengan disyahkannya Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2008 dan diundangkannya UU No. 21 Tahun 2008 Tentang perbankan Syari’ah pada tanggal 16 Juli 2008.
Hal menarik untuk mendapat perhatian masyarakat pencari keadilan berkaitan dari persoalan ekonomi syari’ah yang dicantumkan dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah adalah berkenaan dengan penyelesaian sengketa perbankan syari’ah. Pasal 55 UU No. 21 Tahun 2008 menyatakan :
(1)    Penyelesaian sengketa perbankan syari’ah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.
(2)    Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan akad.
(3)    Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syari’ah.
Ketentuan pasal 55 ayat (1) tersebut di atas adalah sejalan dengan pasal 49 huruf I UU No. 3 Tahun 2006 yang menyebutkan kewenangan Pengadilan Agama adalah menyelesaikan sengketa ekonomi termasuk perbankan syari’ah. Adanya ketentuan ayat (2) adalah merupakan penyimpangan dari prinsip tersebut. Penjelasan pasal 55 ayat (2) menyatakan : yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai isi akad” adanya upaya sebagai berikut :
a.Musyawarah;
b.Mediasi perbankan;
c.Melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau
d.Melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Penyelesaian dengan cara musyawarah dan mediasi perbankan adalah suatu hal yang wajar dalam penyelesaian sengketa perbankan. Penyelesaian sengketa melalui Basyarnas adalah sesuai dengan fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang selalu menyebut sebagai penyelesaian sesuai dengan syari’ah dari berbagai sengketa berbagai kasus ekonomi syari’ah. Dibukanya penyelesaian melalui lembaga arbitrase lain membuka peluang penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah melalui lembaga non syari’ah, walaupun dalam ayat (3) uu No. 21 Tahun 2008 yang menyatakan penyelesaian tersebut tidak boleh bertentnagn dengan prinsip syari’ah.
Penyelesaian sengketa perbankan syari’ah melauipengadilan dalam lingkungan peradilan umum yaitu penyelesaian sengketa melalui pengadilan negeri membuka dualism system peradilan dalam penyelesaian persoalan yang berada dalam ranah syari’ah ke dalam lingkup non syari’ah yang masih perlu dipersoalkan ketepatannya, mengingat persoalan perbankan syari’ah sangat erat hubungannya dengan prinsip-prinsip syari’ah yang sudah dikaji dan dipahami oleh para hakim dilingkungan peradilan agama. Hal ini merupakan gambaran tidak jelasnya politik hukm nasional berkenaan dengan perbankan seyari’ah atau belum digariskannya suatu politik hukum ekonomi syari’ah di Indonesia.
Dari beberapa paparan di atas, maka masyrakat dalam hal ini sebagai pencari keadilan semakin dibuat bingung, ke mana mereka harus menyelesaikan masalah hukumnya ketika terjadi sengketa ekonomi syari’ah, apakah di Pengadilan Agama, Arbitrase atau arbitrase syari’ah, atau Pengadilan Negeri. Bagaimana pula menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah yang klausulanya dibuat sebelum dikeluarkannya UU No.3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Dari sisi sosiologi masyarakat sedikit banya dirugikan akibat Undang-undang yang tidak tegas yang kemungkinan masih menimbulkan multi tafsir.

Reference:http://s2hukum.blogspot.com/2009/12/efektifitas-penyelesaian-sengketa.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar